
Konstitusi di atas Kitab Suci?
Oleh: Wido Supraha
Anggota Majelis Syuro Persatuan Umat Islam (PUI)
supraha@gmail.com
Kamis, 13 Pebruari 2020, bertempat di Kantor Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kepala BPIP itu kembali mengangkat satu isu yang meresahkan keberagaman dalam keberagamaan di Indonesia. Setelah kasus penolakannya pada cadar di kampus yang dipimpinnya beberapa waktu lalu, kemudian diluluskannya salah satu mahasiswa doktoralnya dalam Sidang Tertutup Disertasi Kebebasan Seksual ‘Milkul Yamin’, begitu pula pernyataannya bahwa Agama adalah musuh Pancasila, kini dia kembali membuat pernyataan baru bahwa ‘konstitusi di atas kitab suci’. Lengkapnya beliau menegaskan dengan penuh keyakinan: “Saya mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik.”
Pernyataan ini sangat berbahaya, karena berkonsekuensi memandang agama dan konstitusi tidak memiliki korelasi sama sekali. Umat Islam diminta meyakini kitab suci dalam urusan ritual ibadah seperti haji, dan diminta meninggalkan kitab suci dalam urusan konstitusi, seakan-akan kitab suci hanya mengurusi persoalan ritual, dan tidak memiliki solusi bagi persoalan yang lebih menguasai hajat hidup orang banyak seperti konstitusi. Padahal, jika seseorang tidak menggunakan pelajaran kita suci, bukankah ia pun akan tetap menggunakan referensi lain, seperti pendapat Yunani Kuno, sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, atau isme-isme lain yang berpotensi dalam banyak hal bertentangan dengan kitab suci. Tidak ada yang bebas nilai (value free), karena semua pemikiran terikat dengan nilai (value-laden).
Jika Yudian mengatakan bahwa imbauannya tidak merendahkan agama, justru sebaliknya, pemikiran ini sangat merendahkan agama, terutama agama Islam, karena Yudian fokus kepada ‘orang Islam’ dalam pernyatannya. Ketika Yudian mengatakan bahwa hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial politik bukanlah kitab suci, melainkan konsensus, maka di titik ini Yudian tidak bisa membedakan antara konsensus sebagai kesepakatan manusia dan konstitusi sebagai produk hukum. Jika kitab suci tidak dijadikan referensi berpikir manusia, maka referensi apa yang digunakan oleh kumpulan manusia yang sedang merancang konstitusi itu?
Contoh yang diangkat Rektor UIN Sunan Kalijaga ini untuk menguatkan pemikiran anehnya adalah tentang perintah menunaikan ibadah haji. Disebutkan olehnya bahwa, ‘Sumber dan tujuan menunaikan ibadah haji dijelaskan dalam Al-Quran. Namun, bagaimana calon jamaah memilih kendaraan, anggaran naik haji, dan waktu keberangkatan merupakan bagian dari wadhi’. Contoh yang diangkat ini justru bertentangan dengan pemikirannya, karena faktanya apapun teknis yang dipilih oleh jama’ah haji menuju Makkah, tetap tujuan besarnya diambil dari kitab suci yakni haji dengan seluruh standar rukun dan adabnya.
Pancasila pada faktanya mengandung sebagian intisari dari kitab suci seperti konsep Tuhan Yang Maha Esa, adil, adab, persatuan, hikmah, musyawarah, wakil, dan sejahtera. Fakta ini menunjukkan bahwa Pancasila sebagai konsensus berada dalam naungan kitab suci. Demikian pula menafsirkan Pancasila dengan demikian tidak dapat dengan teknik ‘sekularitas’ sebagaimana keinginan Yudian, karena Indonesia dengan tegas dibangun ‘Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa’.
Sumber referensi berita: https://nasional.tempo.co/read/1307415/kepala-bpip-dalam-berbangsa-geser-kitab-suci-ke-konstitusi